Share :  

Berita  |  22 August 2016 - 17:32

IMPLIKASI MIGRASI TENAGA KERJA TIONGKOK KE INDONESIA

Kesepakatan Bilateral Indonesia – Tiongkok

Kebijakan ini diawali pada saat Presiden Joko Widodo menyampaikan pidatonya di KTT APEC di Beijing, 8-12 November 2014, yang meminta agar negara-negara Asia Pasifik datang dan menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini ditanggapi serius oleh Tiongkok yang kemudian langsung membuat rencana investasi besar-besaran di Indonesia. Penjajakan investasi itu dikonkritkan oleh Presiden Joko Widodo lewat kunjungannya ke Beijing pada tanggal 25-27 Maret 2015.

Nota kesepahaman itu adalah kerjasama ekonomi antara Kemenko Perekonomian RI dan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional RRT, kerjasama Proyek Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung antara Kementerian BUMN dan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional RRT, kerjasama Maritim dan SAR antara Basarnas dan Kementerian Transportasi RRT, Protokol Persetujuan antara Pemerintah RRT dan RI dalam pencegahan pengenaan pajak ganda kedua negara, Kerja Sama Antariksa 2015-2020 antara LAPAN dan Lembaga Antariksa RRT, kerjasama saling dukung antara Kementerian BUMN dan Bank Pembangunan Tiongkok, kerjasama antara pemerintah RRT dan RI dalam pencegahan pengenaan pajak ganda kedua negara dan kerja sama bidang industri dan infrastruktur antara Kementerian BUMN dan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional RRT.

Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman itu, Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu Yandong, datang ke Indonesia pada tanggal 27 Mei 2015. Dalam sambutannya di Auditorium FISIP UI, Yandong mengatakan bahwa akan mengirimkan banyak warga negaranya untuk datang ke Indonesia demi mencapai kerjasama yang ideal antara Indonesia dan Tiongkok dalam berbagai bidang. Menurut Liu Yandong, Tiongkok akan lebih mempererat kerja sama dengan Indonesia di bidang keamanan politik, ekonomi dan perdagangan, serta humaniora. Kerjasama bilateral Indonesia-Tiongkok sangat penting mengingat jumlah penduduk kedua negara sangatlah besar mencapai 1,6 miliar jiwa atau seperempat dari total penduduk dunia.

Implikasi Hukum dan Sosial

Banyak alasan mengapa Pemerintah memilih Tiongkok sebagai mitra kerja untuk menanamkan investasi nya di Indonesia. Salah satunya yaitu dari sumber daya manusia yang murah. Upah tenaga kerja Tiongkok dapat terbilang murah. Selain itu juga kemampuan fisik serta etos kerja yang berbeda dengan pekerja lokal. Anggapan yang berkembang, bila suatu proyek dikerjakan oleh tenaga kerja Tiongkok dapat selesai dalam kurun waktu enam bulan, sedangkan bila menggunakan tenaga kerja lokal maka bisa memakan waktu satu tahun bahkan lebih. Tentu ini tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk melegalkan migrasi besar-besaran warga negara Tiongkok di Indonesia.

Keberadaan tenaga kerja Tiongkok juga kerap kali menimbulkan permasalahan sosial bagi masyarakat sekitar. Perbedaan bahasa dan budaya menjadi pemicu timbulnya keributan. Masyarakat lokal cenderung tidak menerima kehadiran tenaga kerja asing. Mereka menganggap keberadaan tenaga kerja Tiongkok di sana telah mengambil lapangan pekerjaan dan tidak menutup kemungkinan mengancam keberlangsungan hidup mereka. Bahkan yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita adalah makin maraknya kegiatan porstitusi sebagai ekses dari keberadaan tenaga kerja Tiongkok ini di Indonesia. Bekerja dalam waktu yang lama dan jauh dari keluarga, menyebabkan terjadinya kegiatan porstitusi.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 16 Tahun 2015 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 15 Tahun 2015, tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia hanya dapat menduduki jabatan tertentu,  memiliki keahlian khusus, dan profesional di bidangnya. Normatifnya, ekspatriat yang dapat bekerja di Indonesia adalah para pekerja spesialis yang keahliannya tidak dimiliki oleh masyarakat lokal.

Namun, fakta di lapangan banyak ditemui tenaga kerja Tiongkok yang melakukan pekerjaan tidak sesuai IMTA yang diberikan. Katakanlah, dalam IMTA disebutkan pekerjaannya adalah Engineering Specialist atau Electronical Specialist, namun kenyataannya mayoritas mereka melakukan pekerjaan kasar, seperti mengaduk semen, memasang batu bata, mengangkat batu dan besi, bahkan pernah ditemukan sebagai tukang masak (koki) pada perusahaan tersebut. Mayoritas tenaga kerja Tiongkok (ilegal) adalah unskill worker, yang bekerja bukan atas dasar kualifikasi dan keahlian tertentu.

Pada tahun 2014, Penulis yang tergabung dalam Tim Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas II Muara Enim melakukan pengawasan keimigrasian terhadap keberadaan orang asing di PT. Priamanaya Energy yang bertempat di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Ditemukan kurang lebih 350 tenaga kerja Tiongkok yang tidak sesuai dengan izin tinggal diberikan. Hampir semuanya menggunakan Visa Kunjungan Satu Kali Perjalanan (B.211), bahkan sebagian besar dari mereka telah overstay di Indonesia. Berdasarkan data paspor dan pengamatan fisik, tidak sedikit dari mereka adalah pekerja di bawah umur. Tentu selain adanya pelanggaran keimigrasian, ada dugaan kejahatan sindikat perdagangan manusia (human traficking) di dalam kegiatan tersebut. Ini menjadi ironi di saat Indonesia membuka pintu masuk seluas-luasnya bagi investasi dengan jaminan percepatan pembangunan, di sisi lain pelanggaran hukum semakin meningkat. Jangan sampai kita mengorbankan negara hanya untuk kepentingan asing.

Kasus Faktual

Tenaga kerja Tiongkok yang berada di Indonesia mendominasi sektor konstruksi. Satu di antaranya adalah pembangunan PLTU Celukan Bawang, di Buleleng, Bali yang dikerjakan oleh empat kontraktor, yaitu China Huadian Power Plant, China Huadian Engineering Co. Ltd, PT CR 17, dan mitra lokal PT General Energy Bali. Proyek PLTU berkapasitas 3x100 MW tersebut bernilai Rp. 9 triliun. Dengan nominal sebanyak itu, tentu Pemerintah Tiongkok memiliki misi untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi warganya di Indonesia.

Selain itu juga, tentu kita masih ingat kasus tertangkapnya lima orang warga negara Tiongkok berbaju militer dan dua orang warga negara Indonesia oleh Tim Patroli TNI Angkatan Udara Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur (27/04). Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Wieko Syofyan mengatakan ketujuh pekerja yang lima di antaranya merupakan tenaga kerja Tiongkok telah memasuki area Lanud tanpa izin dan melakukan pengeboran secara ilegal.

Berdasarkan hasil pemeriksaan kelima orang warga negara Tiongkok itu merupakan karyawan PT Geo Central Mining yang beralamat di Pantai Indah Kapuk, Bukit Golf, Jakarta Utara dan juga counterpart dari PT Wijaya Karya. Mereka kemudian diamankan oleh Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta Timur. Setelah dilakukan pemeriksaan, mereka memang bekerja dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Diduga terdapat pelangaran keimigrasian berupa tidak dapat menunjukkan dokumen perjalanan serta izin tinggal.

Mayoritas pelanggaran keimigrasian yang dilakukan oleh warga negara Tiongkok di Indonesia adalah melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan izin tinggal yang telah diberikan. Selain itu juga tidak dapat menunjukkan paspor dan izin tinggal, karena dipegang oleh pihak sponsor. Sebagian besar dikenakan Pasal 116 dan Pasal 122 huruf a UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Pasal 116 UU No. 6 Tahun 2011 menentukan bahwa “Setiap orang asing yang tidak melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).” Pasal 71 mengatur bahwa “Setiap orang asing yang berada di wilayah Indonesia wajib: (a) memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri dan/atau keluarganya serta melaporkan setiap perubahan status sipil, kewarganegaraan, pekerjaan, Penjamin, atau perubahan alamatnya kepada Kantor Imigrasi setempat; atau (b) memperlihatkan dan menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan Keimigrasian.”

Kemudian Pasal 122 huruf a UU No. 6 Tahun 2011 mengatur bahwa “Setiap orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian izin tinggal yang diberikan kepadanya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).” Kedua pasal ini merupakan pasal yang paling banyak dilanggar oleh warga negara asing, khususnya tenaga kerja yang berasal dari Tiongkok.

Selain pelanggaran keimigrasian, kegiatan pekerja Tiongkok di Indonesia juga menimbulkan kejahatan lainnya, seperti cyber crime. Jauh sebelum diberlakukannya kebijakan bebas visa kunjungan untuk negara Tiongkok, kejahatan cyber crime masih terbilang minim. Namun, sekitar satu tahun setelah diberlakukannya kebijakan ini maka persentasenya meningkat tajam dan itu hampir semuanya dilakukan oleh warga negara Tiongkok.

Terakhir, kasus cyber crime yang menarik perhatian publik terjadi di kawasan Bogor (21/06). Polresta Bogor Kota dan Kantor Imigrasi Kelas I Bogor mengamankan 31 WN China yang diduga melakukan cyber fraud di perumahan mewah di kawasan Bogor. Para pelaku ditengarai telah beroperasi sejak April 2016. Mereka melakukan kejahatan transnasional dengan modus operandi penipuan online kepada korban warga negara Tiongkok. Mereka melaklukan penipuan secara online kepada warganya sendiri, namun menjadikan Indonesia sebagai homebase mereka.

Pengawasan dan Penegakan Hukum

Penegakan hukum terkait ekspansi warga negara Tiongkok yang melakukan pelanggaran, mau tidak mau harus segera dilaksanakan, terutama di bidang keimigrasian. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan pelanggaran yang paling banyak dilakukan. Diperlukan koordinasi antar lembaga guna meningkatkan pengawasan selama mereka melakukan kegiatan di Indonesia. Keberadaan Sekretariat Tim Pengawasan Orang Asing (Tim Pora) yang melibatkan TNI, Polri, Kejaksaan, Kemenakertrans, dan lembaga lainnya, perlu didukung secara maksimal. Peran serta masyarakat sebagai pihak yang paling sering bersentuhan dengan warga negara asing (Tiongkok) harus diberdayakan.

Perosalan migrasi warga negara Tiongkok ke Indonesia bukan hanya masalah satu atau dua institusi, tapi menjadi permasalahan bangsa. Keberadaan tenaga kerja Tiongkok ibarat dua sisi mata uang, yang (mungkin) dapat mensejahterakan masyarakat, tapi juga mengganggu keamanan negara. Tidak hanya itu, dalam jangka panjang dapat memberikan pengaruh negatif terhadap perkembangan ideologi, sosial, politik, dan ekonomi. Jangan sampai kita yang punya wilayah dan sumber daya, malah menjadi penonton di negara sendiri. Indonesia adalah negara berdaulat. Kedaulatan itulah yang harus dijaga, bukan untuk digadaikan.


Oleh:
M. Alvi Syahrin, S.H., M.H
Pejabat Imigrasi
Pembina pada Politeknik Imigrasi